Motto

Kamis, 31 Mei 2012

TAFSIR SURAT AL-IKHLAS



ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ôs9qムÇÌÈ öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ
“ Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Surat ini termasuk surat makiyyah. Dan surat ini adalah surat yang ke 112 yang terdiri dari 4 ayat.

  1. Asbab an-Nuzul

Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab Ra bahwa orang-orang musyrik berkata kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam: “Wahai Muhammad sebutkanlah sifat-sifat Tuhanmu kepada kami.” Lalu Allah menurunkan surat ini. (HR. Imam Ahmad, At-Tirmidzi dll)

Dalam riwayat lain dikatakan, Dahhak meriwayatkan bahwa orang-orang musyrik mengutus kepada Nabi Muhammad SAW Amir bin Tufail, menyampaikan amanah mereka kepada Nabi, ia berkata: "Engkau telah memecah belahkan keutuhan kami, memaki-maki "tuhan" kami, berubah agama nenek moyangmu. Jika engkau miskin dan mau kaya kami berikan engkau harta. Jika engkau gila kami obati. Jika engkau ingin wanita cantik akan kami kawinkan engkau dengannya". Nabi menjawab:
"Aku tidak miskin, tidak gila, tidak ingin kepada wanita. Aku adalah Rasul Allah, mengajak kamu meninggalkan penyembahan berhala dan mulai menyembah Allah Yang Maha Esa", kemudian mereka mengutus utusannya yang kedua kalinya dan bertanya kepada Rasulullah. Terangkanlah kepada kami macam Tuhan yang engkau sembeh itu. Apakah Dia dari emas atau perak?", lalu Allah menurunkan surah ini. (HR. Dahhak)

B. Nama-nama lain dari Surat Al-Ikhlas

v     الاخلاص (murni)
v     التنزيل (yang diturunkan)
v     التجريد (yang lepas)
v     التوحيد (mengesakan Allah)
v     النجاة (selamat)
v     الولاية (dekat)
v     النسبة (nisbat/ hubungan)
v     المعرفة (pengenalan)
v     الجمال (keindahan)
v     المقشقشة (penyembuhan)
v     المعوذة (yang berlindung)
v     الصمد (tempat bergantung)
v     المانعة (yang mencegah)
v     المحتضر (yang hadir)
v     المنفرة (yang lari)
v     البراءة (yang bebas)
v     المذكرة (peringatan)
v     النور (cahaya)
v     الانسان (manusia)
v     الاساس (asas/ dasar)

  1. Keutamaan Surat Al-Ikhlas

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Demi Dzat Yang jiwaku ada ditanganNya, sesungguhnya dia (surat Al-Ikhlas) sebanding sepertiga Al-Qur’an”.(HR.Bukhari).
Dikatakan sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an karena kandungan Al-Quran ada tiga macam: Tauhid, kisah-kisah dan hukum-hukum. Dan dalam surat ini terkandung sifat-sifat Allah yang merupakan tauhid sehingga surat ini sebanding atau sama dengan sepertiga Al-Qur’an.
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa telah diceritakan kepadanya oleh Ismail, dari Malik, dari Abdur Rahman bin Abdullah bin Abdur Rahman bin Abu Sha’sha’ah, dari ayahnya, dari abu Sa’d, bahwa seorang laki-laki lain membaca Qulhuwallahu ahad berulang-ulang. Pada keesokan harinya ia datang kepada Nabi saw. Melaporkan hal itu, seakan-akan ia mempersoalkannya, kemudian Nabi bersabda, “Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya surah ini sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an

  1. Penamaan Surat Al-Ikhlas

Secara lughawi, kata Al-Ikhlas itu berasal dari kata Akhlasha-yukhlishu-Ikhlashaan, yang berarti memurnikan.
Dinamakan surat Al-Ikhlash karena didalamnya terkandung keikhlasan atau pemurnian (tauhid) kepada Allah dan dikarenakan membebaskan pembacanya dari syirik (menyekutukan Allah ).

  1. Tafsir Surat Al-Ikhlas

ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ
“ Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.”

Ayat ini diawali oleh kata “Qul” yang berarti “katakanlah”, hal ini menunjukan bahwa Nabi Muhammad saw selalu menyampaikan segala sesuatu yang diterimanya dari ayat-ayat Al-Qur’an yang disampaikan malaikat Jibril. Beliau tidak mengubahnya walau hanya satu huruf. Secara tidak langsung, ini merupakan penolakan terhadap anggapan sebagian orang kafir yang menuduh bahwa Al-Qur’an itu karangan Nabi saw, bukan firman Allah.
Kemudian kata “Qul” didampingi oleh kata “Huwa” yang berarti “dialah”, yang mengandung arti bahwa yang disampaikan itu kebenarannya sudah pasti dan didukung oleh bukti rasional yang tak ada sedikitpun keraguan padanya, bahwa Allah swt itu esa dalam dzat-Nya.
Dialah Allah yang Maha Tunggal. Maksudnya, Dia benar-benar satu, baik secara lafzhiyyah maupun ma’nawiyyah (pure monotheism), bukan hasil eliminasi dari dua atau tiga, bukan pula tunggal yang berasal dari dwi-tunggal atau tri-tunggal, dan bukan pula monotheism yang berasal dari polytheism atau trinitas dan trimukti. Bagi umat islam, dalam menginterpretasikan kalimat “ketuhanan yang maha esa” itu tdak lain melainkan “Huwallahu ahad”.
Menurut Imam Ath-Thabarasy di dalam kitab tafsirnya “Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an”, dikatakan bahwa penggunaan kata “ahad” bukan dengan “wahid”, itu dikarenakan “wahid ” itu termasuk ke dalam “hisab” atau hitungan. Sedangkan “ahad” itu tidak dapat dibagi-bagi pada dzat-Nya. Kita boleh menjadikan bagi “wahid” itu dua dan seterusnya. Akan tetapi kita tidak boleh menjadikan bagi “ahad” itu dua dan seterusnya.

ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ
“ Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.”

Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma berkata: Ash-Shomad adalah yang bergantung kepadaNya semua makhluk untuk mendapatkan hajat-hajat dan permintaan-permintaan mereka.
Beliau berkata pula tentang makna Ash-Shomad : Dia adalah As-Sayyid (Maha Pemimpin) Yang Maha sempurna dalam kepemimpinanNya, Asy-Syariif (Maha Mulia) Yang Maha sempurna dalam kemuliaanNya, Al-‘Adhiim (Maha Agung) Yang Maha sempurna dalam keagunganNya, Al-Haliim (Maha Penyantun) Yang Maha sempurna dalam kesantunanNya, Al-‘Aliim (Maha Mengetahui) Yang Maha sempurna dalam pengetahuanNya dan Al-Hakiim (Maha Bijaksana) Yang Maha sempurna dalam kebijaksaanNya. Dialah Yang Maha Sempurna dalam kemuliaan dan kepemimpinan dan Dia adalah Allah, inilah sifatNya yang tidak sepatutnya kecuali untuk Dia. Tidak ada yang setara denganNya dan tidak ada pula sesuatu yang seperti Dia. Maha Suci Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan (musuh-musuhNya).



öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ôs9qムÇÌÈ
“Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan”

Ada dua kata dalam Al-Qur’an yang sering digunakan untuk menafikan atau meniadakan sesuatu, yaitu kata “lam” dan kata “lan”. Kata “lam” digunakan untuk menafikan sesuatu yang telah terjadi. Sedangkan “lan” digunakan untuk menafikan sesuatu yang akan terjadi. Kata “lam” digunakan pada ayat ini untuk menggambarkan bahwa saat itu telah beredar keyakinan bahwa tuhan itu bisa beranak.
Ibnu 'Abbas berkata: "Dia tidak beranak sebagaimana Maryam melahirkan Isa A.S. dan tidak pula diperanakkan. Ini adalah bantahan terhadap orang-orang Nasrani yang mengatakan Isa Al Masih adalah anak Allah dan bantahan terhadap orang-orang Yahudi yang mengatakan Uzair adalah anak Allah.
Singkatnya, kata “lam” yang digunakan pada ayat ini merupakan koreksi terhadap keyakinan yang beredar saat itu. Seolah ayat ini mengatakan, “Keyakinan anda keliru, sesungguhnya Allah tidak beranak dan tidak diperanakan”.

öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ
“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."

Surat Al-Ikhlas ini ditutup dengan ayat yang menafikan segala sesuatu yang sama dengan Allah. Artinya bukan dari segi beranak dan diperanakannya, tapi Allah itu berbeda dengan makhluk dalam segala dimensinya.




Rabu, 18 April 2012

Umar bin Khathab Mengirim pesan tauhid kepada Sungai Nil





Pada zaman Khulafaur Rasyidin hal ini menjadi perhatian yang sangat serius. Negara benar-benar menjadi perisai, pelindung umat dari ajaran-ajaran yang menyesatkan. 

Salah satu contoh penjagaan akidah umat adalah kisah yang pernah terjadi pada masa kepemimpinan Amirul Mukminin Umar bin Khathab. Khalifah Umar telah mendorong rakyat untuk menganut akidah Islam yang benar dan murni, memerangi syubhat-syubhat yang didakwahkan para pelaku penyimpangan dan membantah tipuan-tipuan para musuh Islam yang menyiarkan ajaran-ajaran menyimpang dan aneka ragam khurafat. 

Salah satu buktinya diceritakan Doktor Muhammad Ash-Shalabi dalam salah satu kitabnya, Syakhsiyatu Umar wa Aruhu. Peristiwa ini terjadi di Mesir saat wilayah itu dipimpin oleh gubernur (wali) Amr bin Al-‘Ash. 

Amr bin Al-Ash’ pernah melayangkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar. Dalam surat tersebut, Amr menginformasikan kepada Umar mengenai tradisi penduduk Mesir yang biasa melemparkan seorang gadis ke sungai Nil setiap tahun sebagai tumbal. Hal itu dilakukan karena sungai Nil tidak megeluarkan air setetes pun. 

Penduduk Mesir mengatakan kepada Amr bin Al-‘Ash, “Wahai gubernur Amr, sungai Nil kami ini memiliki sebuah tradisi dan ia tidak akan mengalirkan air kecuali dengannya.” “Apa tradisi itu”, tanya Amr. Mereka kemudian menjawab, “Bila dua belas malam berlalu dari bulan ini, maka kami akan mengambil seorang gadis perawan dari kedua orang tuanya. Kami berusaha membujuk kedua orang tuanya agar mereka mau menyerahkan gadis mereka kepada kami. Gadis itu akan kami lengkapi dengan perhiasan dan pakaian yang paling bagus. Kemudian kami melemparkan gadis itu ke sungai Nil ini.”

Kemudian Amr mengatakan kepada mereka, “Tradisi semacam ini tidak diperkenankan dalam agama Islam. Islam telah melenyapkan tradisi-tradisi ini sebelum Islam”, kata Amr. Artinya, sesuai ajaran Islam, Amr telah melarang tradisi syirik itu. 

Para penduduk Mesir tetap berdiam di tepi sungai Nil, dan ternyata sungai Nil memang benar-benar tidak mengalirkan air setetes pun sampai mereka bubar. 

Atas kejadian ini Amr bin Al-‘Ash kemudian melayangkan sepucuk surat kepada Amirul Mukminin Umar bin Khathab untuk melaporkan hal tersebut. Lalu Umar membalas surat Amr. Dalam suratnya, Umar mengatakan kepada Amr, “Apa yang telah Anda lakukan sudah benar. Aku telah kirimkan kepada Anda sebuah kartu yang kuselipkan ke dalam suratku. Lemparkanlah kartu itu ke sungai Nil!”. Setelah surat Umar itu sampai, Amr mengambil kartu tersebut.

Apa yang dituliskan Umar dalam kartu tersebut?. Ternyata Umar menulis, “Dari hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin, ditujukan kepada sungai Nil, penduduk Mesir. Amma ba’du. Bila engkau, wahai Sunggai Nil, mengalir atas dasar kemauan dan kehendakmu, maka janganlah engkau mengalir. Kami tidak membutuhkanmu. Bila engkau mengalir dengan perintah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa dan Dia-lah yang membuatmu mengalirkan air, maka kami memohon kepada Allah agar Dia mengalirkanmu”.

Amr lalu melemparkan kartu itu ke sungai Nil. Saat itu, bertepatan dengan hari Sabtu. Atas izin Allah Swt, saat itu juga air mengalir di sungai Nil. Allah Swt telah mengalirkan sungai Nil sepanjang 16 ela (1 ela = 45 inci) setiap malam. Melalui peristiwa ini Allah Swt telah melenyapkan tradisi buruk ini dari penduduk Mesir hingga saat ini. 

Dalam kartu tersbut, Umar telah menjelaskan makna-makna tauhid, bahwa sungai Nil hanya mengalir karena kehendak dan kekuasaan Allah Swt. Umar telah menyingkap kepada penduduk Mesir tentang kepalsuan akidah mereka yang rusak, yang telah tertanam dalam benak mereka. Dengan tindakan Umar yang bijaksana ini, beliau telah berhasil melenyapkan keyakinan khurafat dari penduduk Mesir. Kisah ini sekaligus menunjukkan adanya kemuliaan (karamah) yang dianugerahkan Allah Swt kepada Umar yang tidak dimiliki oleh sahabat lainnya. 

Inilah teladan dari Umar bin Khaththab, Amirul Mukminin. Penguasa-penguasa kamu muslimin saat ini hendaknya meniru Umar dengan menjaga akidah umat dari pemahaman-pemahaman yang menyimpang dan menyesatkan. Tradisi-tradisi syirik yang berlaku di masyarakat mestinya segera dilenyapkan dan diganti dengan pemahaman yang lurus, bukan malah dilestarikan dan dijadikan lahan pariwisata. 

Insya Allah jika penguasa sekarang bersikap dan bertindak seperti Umar, niscaya negeri ini menjadi negeri yang berkah dan makmur, negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Bukan negeri yang selalu dirundungbala’, musibah dan bencana. Wallahu a’lam bishshawab. 

Minggu, 01 April 2012

Kisah Bilal Bin Rabah Sang Muadzin Rasulullah


Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam, memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya.

Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda' (putra wanita hitam). Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meinggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.

Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Sholallahu alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu'minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, 'Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.

Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.

Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh'afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.

Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah hingga menembus punggung... , dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.

Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.

Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal-semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.

Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, "Ahad, Ahad ... (Allah Maha Esa)." Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, "Ahad, Ahad ...." Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, "Ahad, Ahad...."

Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan 'Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, "Ikutilah yang kami katakan!"
Bilal menjawab, "Lidahku tidak bisa mengatakannya." Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.

Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah2 Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, "Ahad..., Ahad..., Ahad..., Ahad...." Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.

Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.

Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, "Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya."
Abu Bakar membalas, "Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya..."

Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, "Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar."
Ash-Shiddiq Rodhiallahu anhu menjawab, "Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah."

Setelah Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu anhu.. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan 'Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih,

Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti. Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil. Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman.... Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah.... Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.

Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Sholallahu alaihi wasallam.. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi. Selalu bersamanyma saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan RasulullahSholallahu alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.

Ketika Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muazin) dalam sejarah Islam.

Biasanya, setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam seraya berseru, "Hayya alashsholaati hayya alashsholaati...(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan....)" Lalu, ketika Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.

Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam. Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa' (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.

Bilal menyertai Nabi Sholallahu alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.

Ketika Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama 'sang pengumandang panggilan langit', Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka'bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka'bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam..

Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka'bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Sholallahu alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.

Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.

Saat azan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, "Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)". Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, "Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu.... Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi." Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.

Khalid bin Usaid berkata, "Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini." Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam masuk ke kota Mekah..

Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, "Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka'bah."
Al-Hakam bin Abu al-'Ash berkata, "Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka'bah)."
Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, "Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah."

Bilal menjadi muazin tetap selama Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan kata, "Ahad..., Ahad... (Allah Maha Esa)."

Sesaat setelah Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam mengembuskan napas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, "Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)", tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.

Sejak kepergian Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, "Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)", ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.

Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan azan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.

Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, "Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya."

Abu Bakar menjawab, "Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah."

Bilal menyahut, "Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Sholallahu alaihi wasallam wafat."

Abu Bakar menjawab, "Baiklah, aku mengabulkannya." Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan azan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Rodhiallahu anhu setelah terpisah cukup lama.

Umar sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali,

"Abu Bakar adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal)."

Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau mengumandangkan azan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika suara Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan azan, Umar tidak sanggup menahan tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu, yang kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka basah dengan air mata. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam..

Bilal, "pengumandang seruan langit itu", tetap tinggal di Damaskus hingga wafat. Saat menjelang kematiannya, istri Bilal menunggu di sampingnya dengan setia seraya berkata, "Oh, betapa sedihnya hati ini...."

Tapi, setiap istrinya berkata seperti itu, Bilal membuka matanya dan membalas, "Oh, betapa bahagianya hati ini.... " Lalu, sambil mengembuskan napas terakhirnya, Bilal berkata lirih,

"Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih...

Muhammad dan sahabat-sahabatnya

Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih...

Muhammad dan sahabat-sahabatnya".